Sepintas Helaian : Ku biarkan bulan bicara semahunya – Bab 1
30 tahun....
Telah 30 tahun kubiarkan diri ini menanggung derita yang tidak sewajarnya.
Pulanglah Dik Ma...,
Abang telah punya jawapan untuk semua pertanyaan kau, sayang....
Entah mengapa, desir angin desa sudah tidak segarang dahulu, sepoinya gemalai yang lembut. Barangkali usia sang bayu ini pun telah setua aku, membuatkan perhitungannya lebih adil dan sabar terhadap lelaki yang mulai kalah perlahan-lahan ini .Aku menghela nafas dalam-dalam. Menanti peluang untuk menjelaskan apa yang telah terjadi harus punyai kesabaran yang bukan calangan. Aku masih menyanggupi diri, bersabar, namun patah-patah bait kata yang berirama di dalam mindaku, menjadikan aku, pendosa yang masih mencari kemaafanmu itu, terdera di setiap helaan nafasnya, membuatkan pilu dosa semalam, terlalu mendera .
XXXXXXXXXXX Bulan sabit yang jatuh di pelataran
XXXXXXXXXX Bintang redup tanpa cahaya gemintang
XXXXXXXX Langkah tanpa arah, sesat di jalan yang terang
XXXXXXXXXXX Aku yang terlena di buai pelukan dosa
XXXXXXXXXXXX Ingin pulang membalut luka hatimu
XXXXXXXXXXXXX Ku pun tahu betapa pedih batinmu
XXXXXXXXXXX Beri kesempatan atau jatuhkan hukuman
XXXXXXXXXXXXXXX Andai maaf pun tak kau berikan
XXXXXXXXXXXXX Air mata tulus jatuh di sudut bibirmu
XXXXXXXXXX Tak terlintas dendam di bening mata indahmu
XXXXXXXXXXXX Aku yang merasa sangat berdosa padamu
XXXXXXXXXXXXXXX Masih pantaskah mendampingimu
XXXXXXXXXXXXXXXXXX Biarlah bulan bicara sendiri
XXXXXXXXXXXXXXXX Biarlah bintang kan menjadi saksi
XXXXXXXXXXXXX Takkan kuulangi walau sampai akhir nanti
XXXXXXXXXXXXXXXXXXX Cukup derita sampai disini
Saat ini, patah-patah kata Broery Marantika itu begitu menusuk batinku . Air mata lelaki ini lalu sewajarnya menjadi murah . Kurasakan iramanya begitu menyiksakan fikiran dan jiwaku saat ini.Deraan batin yang tak terucap. Membuatkan penantian ini lebih menyiksakan .Namun apabila sesusuk tubuh yang di nanti muncul dihadapanku tanpa sepatah bicara, apa yang terjadi adalah penantian sekeping hati yang bertambah sayat terluka. Kau hanya berdiri disitu melihatku. Mengumam bibir menahan sendu yang barangkali juga turut menyiksa hati perempuanmu . Aku cuba melempar senyum, namun kuyakini, senyuman itu hanyalah akan menambah perit dan siksa di hati mu.
XXXXX"Kenapa bang ?".Soalan pertama yang kau tanyakan membuatkan aku semakin parah .Nyatalah sehingga ke saat ini kau masih tak mengerti, mengapa derita ini terjadi.
XXXXX"Abang dah anggap diri abang tua Dik Ma, tengoklah kepala abang ni, dah mula beruban". Mukaddimahku harus menagih simpati sedang kau hanya mengeleng kepala. Aku tak pasti samaada kau kesal atau terluka, namun gelenggan kepala itu jelas membuatkan aku semakin terhukum.Perlahan kau berjalan mendekati. Sebak di hatiku semakin bertambah.
XXXXX"Abang ni keras Dik Ma, tapi Dik Ma pun tahu macamana perangai abang , abang tak pandai cakap berbelit-belit. Abang kalau cakap yang lurus-lurus". Aku berusaha menjelaskan .Dik Ma memandangku tepat. Barangkali menaksir kata-kata menerusi pandangannya yang cuba menembusi aku dari sepasang matanya .Nah, lihatlah diri abang ini ,Dik Ma, tiada apa-apa yang mampu abang sembunyikan dari pandangan lahiriyah dan batinmu.
XXXXXXXXXKau lebih mengerti jiwa abang....
Lalu lihatlah kedalam diriku, dan rasailah kebenaran yang pahit ini .Perlahan, sebelumnya penjelasan yang lain kuberikan kenangan silam mulai mengisi mindaku, menarikku ke zaman yang masih hijau dan naif. Zaman dimana kau dan aku masih terlalu hijau untuk mengenal dunia yang kejam ini……
Telah 30 tahun kubiarkan diri ini menanggung derita yang tidak sewajarnya.
Pulanglah Dik Ma...,
Abang telah punya jawapan untuk semua pertanyaan kau, sayang....
Entah mengapa, desir angin desa sudah tidak segarang dahulu, sepoinya gemalai yang lembut. Barangkali usia sang bayu ini pun telah setua aku, membuatkan perhitungannya lebih adil dan sabar terhadap lelaki yang mulai kalah perlahan-lahan ini .Aku menghela nafas dalam-dalam. Menanti peluang untuk menjelaskan apa yang telah terjadi harus punyai kesabaran yang bukan calangan. Aku masih menyanggupi diri, bersabar, namun patah-patah bait kata yang berirama di dalam mindaku, menjadikan aku, pendosa yang masih mencari kemaafanmu itu, terdera di setiap helaan nafasnya, membuatkan pilu dosa semalam, terlalu mendera .
XXXXXXXXXXX Bulan sabit yang jatuh di pelataran
XXXXXXXXXX Bintang redup tanpa cahaya gemintang
XXXXXXXX Langkah tanpa arah, sesat di jalan yang terang
XXXXXXXXXXX Aku yang terlena di buai pelukan dosa
XXXXXXXXXXXX Ingin pulang membalut luka hatimu
XXXXXXXXXXXXX Ku pun tahu betapa pedih batinmu
XXXXXXXXXXX Beri kesempatan atau jatuhkan hukuman
XXXXXXXXXXXXXXX Andai maaf pun tak kau berikan
XXXXXXXXXXXXX Air mata tulus jatuh di sudut bibirmu
XXXXXXXXXX Tak terlintas dendam di bening mata indahmu
XXXXXXXXXXXX Aku yang merasa sangat berdosa padamu
XXXXXXXXXXXXXXX Masih pantaskah mendampingimu
XXXXXXXXXXXXXXXXXX Biarlah bulan bicara sendiri
XXXXXXXXXXXXXXXX Biarlah bintang kan menjadi saksi
XXXXXXXXXXXXX Takkan kuulangi walau sampai akhir nanti
XXXXXXXXXXXXXXXXXXX Cukup derita sampai disini
Saat ini, patah-patah kata Broery Marantika itu begitu menusuk batinku . Air mata lelaki ini lalu sewajarnya menjadi murah . Kurasakan iramanya begitu menyiksakan fikiran dan jiwaku saat ini.Deraan batin yang tak terucap. Membuatkan penantian ini lebih menyiksakan .Namun apabila sesusuk tubuh yang di nanti muncul dihadapanku tanpa sepatah bicara, apa yang terjadi adalah penantian sekeping hati yang bertambah sayat terluka. Kau hanya berdiri disitu melihatku. Mengumam bibir menahan sendu yang barangkali juga turut menyiksa hati perempuanmu . Aku cuba melempar senyum, namun kuyakini, senyuman itu hanyalah akan menambah perit dan siksa di hati mu.
XXXXX"Kenapa bang ?".Soalan pertama yang kau tanyakan membuatkan aku semakin parah .Nyatalah sehingga ke saat ini kau masih tak mengerti, mengapa derita ini terjadi.
XXXXX"Abang dah anggap diri abang tua Dik Ma, tengoklah kepala abang ni, dah mula beruban". Mukaddimahku harus menagih simpati sedang kau hanya mengeleng kepala. Aku tak pasti samaada kau kesal atau terluka, namun gelenggan kepala itu jelas membuatkan aku semakin terhukum.Perlahan kau berjalan mendekati. Sebak di hatiku semakin bertambah.
XXXXX"Abang ni keras Dik Ma, tapi Dik Ma pun tahu macamana perangai abang , abang tak pandai cakap berbelit-belit. Abang kalau cakap yang lurus-lurus". Aku berusaha menjelaskan .Dik Ma memandangku tepat. Barangkali menaksir kata-kata menerusi pandangannya yang cuba menembusi aku dari sepasang matanya .Nah, lihatlah diri abang ini ,Dik Ma, tiada apa-apa yang mampu abang sembunyikan dari pandangan lahiriyah dan batinmu.
XXXXXXXXXKau lebih mengerti jiwa abang....
Lalu lihatlah kedalam diriku, dan rasailah kebenaran yang pahit ini .Perlahan, sebelumnya penjelasan yang lain kuberikan kenangan silam mulai mengisi mindaku, menarikku ke zaman yang masih hijau dan naif. Zaman dimana kau dan aku masih terlalu hijau untuk mengenal dunia yang kejam ini……
1 Comments:
Hadis mana kata dunia ni kejam?
Post a Comment
<< Home