PENDIRIAN YANG LELAKI
xxxxxxxxxxPokok pangkalnya menulis novel itu mestilah bersatu dengan maksud karangan itu dilahirkan.Ini menurut hemat saya.Saya terfikirkan hal ini setelah melawati beberapa laman web penulis yang saya kira masih baru bertamu di dalam dunia penulisan. Mereka ini sudah punyai dua tiga novel yang tebal-tebal.
Ertinya ada penerbit yang sudi mencetak karya mereka malah mengiklan kebagusan karya itu di Internet. Saya terpengaruh.
Idea dan semangat yang dicicipi dari bait bait kata di dalam iklan novel itu menguja saya untuk menyelak halaman pertama, namun setelah batas perenggan pertama saya jadi letih untuk menyangupi bacaan. Kecewa saya membuak pada perenggan ke dua. Masih pemilihan diksinya bercelaru.
Karma muka pertamanya, gagal. Kalau didalam istilah perfileman. Act1,Act2 dan Act 3nya gagal.
Lalu novel itu saya tinggalkan begitu sahaja pada rak bacaan di dalam bilik kerja saya dengan catatan,
XXXXX“Sebuah kisah cinta dengan latar dunia, namun terganggu dengan kegayaan penceritaannya yang picis. Tidak tuntas di baca” Saya menulis kata-kata itu pada novel tersebut. Ertinya jikalau dilain waktu saya hendak membuka novel ini, ‘penanda’ pada halaman pertama itu akan mengingatkan.XXXXX“Tema yang berat dipermudah dengan diksi yang pasar,” adalah ulasan saya yang kedua. Saya menutup mata pena. Namun, tiba-tiba
Adakah, penulis ini menulis diatas semberononya sendiri atau dia diminta menulis seperti itu?
“seseorang hanya layak digelar penulis setelah berani menyatakan sikap”
Sangat besar taruhan pribadi di dalam kata-kata keramatnya itu. Bagi seseorang yang mencari rezeki dengan hanya menulis, kata-kata keramat itu adalah setajam pedang yang sesungguhnya mampu merobek tuan punya pedang itu sendiri. Namun pada sisi yang lain mengakui kelemahan di masa yang sama mencari kekuatan untuk bersatu dengan kebenaran adalah kerja yang lelaki.
Tidak terlalu jika saya katakan, menjadi penulis dewasa ini samalah beraninya dengan menjadi tentera di
2 Comments:
Dan menjadi penulis ada kelebihannya daripada para satria pejuang di medan tempur. Kerana penulis masih lagi mampu memilih 'perang'nya. Dirinya adalah komandan dan pada masa yang sama seorang prebet. Namun, pada sudut lemahnya, memilih 'perang' adalah azab. Tetapi apabila 'perang' yang tepat dipilih, biar kecundang... ia adalah nikmat. Syurga sebuah peperangan...
Teringat bait lagu M.Nasir, "Ini bukanlah peperanganku, lalala...(aku lupa!)"
-kangaq
Wag, hebatnya sang wira tunggal penangkis salji menulis bait-baitnya. Pendita menyulam dengan tinta bagaikan panah-panah di medan perang.
- Dakwat hitam
Post a Comment
<< Home